Oleh: Muhammad Arjun
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Riau)
Pada
era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia menghadapi dua tantangan
besar yang saling terkait yaitu mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi
sekaligus menurunkan emisi karbon guna mengatasi krisis iklim global. Sebagaimana
yang tercantum pada laporan IEA sejak tahun 2022, Indonesia telah menyatakan
target ambisius mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Bahkan
pada forum G20 tahun lalu, Presiden Prabowo Subianto dengan
percaya diri telah menyampaikan optimistis
negara ini bisa mencapai net zero jauh sebelum 2050, dengan rencana pensiun
seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil dalam 15 tahun mendatang. Namun
realitanya, lebih dari separuh kapasitas terpasang pembangkit listrik Indonesia
masih bergantung pada batubara, sedangkan kurang dari 15% dihasilkan dari
energi terbarukan. Di sisi lain, menurut Laporan Transparansi Iklim tahun 2020
sektor energi menyumbang sekitar 35% emisi gas rumah kaca nasional. Dalam konteks inilah transisi energi nasional beralih
dari fosil ke sumber energi bersih yang menjadi strategi kunci.
Keberhasilan
transisi ini tidak hanya soal teknologi dan investasi, tetapi juga sangat
bergantung pada Trait/sifat kepemimpinan yang dimiliki oleh Menteri ESDM
dan para pemimpin sektor energi. Seorang pemimpin yang visioner, berani
mengambil risiko, adaptif, kolaboratif, serta jujur dan transparan akan mampu
menginspirasi perubahan dan menetapkan kebijakan jangka panjang untuk sistem
energi yang berkelanjutan.
Pemimpin
transisi energi harus memiliki visi jangka panjang yang jelas. Mereka perlu
memahami tren global energi dan kebijakan iklim internasional. Sebagai contoh,
IEA menegaskan bahwa tiga pilar jangka pendek utama adalah efisiensi energi,
pengembangan energi terbarukan di sektor listrik, dan elektrifikasi
transportasi, yang mana ketiganya menyumbang sekitar 80% pengurangan emisi yang
dibutuhkan menuju net zero. Sejalan dengan itu, Indonesia menargetkan bauran
energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 (menurut Perpres 22/2017), namun
kenyataannya, dikutip dari website resmi Kementerian ESDM, bahwasanya hingga 13
Agustus 2025 total kapasitas terpasang pembangkit EBT belum melebihi 15% dari
total pembangkit nasional. Pemimpin visioner akan melihat peluang di balik
tantangan ini, seperti kekayaan sumber panas bumi, potensi tenaga surya dan
angin, serta inovasi teknologi baterai. sebagaimana pada forum G20 sebelumnya
Presiden Prabowo juga menyebutkan bahwa letak Indonesia di garis khatulistiwa
memberikan potensi energi surya melimpah, mendukung optimisme mencapai net zero
lebih cepat. Hal ini sejalan dengan inisiatif seperti Just
Energy Transition Partnership (JETP) menggalang investasi bersih, termasuk
pendanaan sebesar USD 60 juta untuk proyek PLTS terapung Saguling. Semua itu
menuntut pemimpin yang mampu merumuskan strategi jangka panjang, menyelaraskan
target ekonomi dengan komitmen iklim, dan mendorong kebijakan transisi energi
berbasis data dan perencanaan matang.
Transisi energi sering menuntut pemimpin untuk
membuat keputusan sulit yang mungkin tidak populer dalam jangka pendek.
Contohnya adalah pengurangan subsidi bahan bakar fosil atau penutupan
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Institute for Essential Services Reform (IESR)
menegaskan bahwa subsidi energi fosil selama ini justru “menghambat” transisi
bersih karena membuat energi terbarukan sulit bersaing. Oleh karena itu,
keberanian untuk mereformasi subsidi dan menaikkan harga energi fosil secara bertahap
diperlukan untuk menciptakan level playing field bagi EBT. Langkah berani juga
terlihat dari keputusan Kementerian ESDM baru-baru ini pada April 2025, Menteri
ESDM Bahlil Lahadalia menerbitkan Peta Jalan Transisi Energi Sektor
Ketenagalistrikan (Permen ESDM No. 10/2025) yang mengatur percepatan
pensiun PLTU batubara dan pelarangan PLTU baru kecuali yang memenuhi kriteria
tertentu. Ia bahkan menandatangani pensiun dini PLTU Cirebon I (650 MW) sebelum
kontraknya habis. Kebijakan-kebijakan ini berani karena melanggar status quo
yang menutup PLTU batubara lebih awal dan menunda investasi fosil jangka
pendek. Langkah serupa dilakukan pemerintah yang menyatakan tidak akan
mengeluarkan izin PLTU baru di luar program 35 GW yang telah ditetapkan.
Keputusan-keputusan yang kontroversial seperti itu hanya mungkin diambil oleh
pemimpin yang teguh prinsip keberlanjutan, tidak terjebak kepentingan politik
jangka pendek.
Krisis
iklim dan perubahan geopolitik membuat lanskap energi global terus berubah
cepat. Fluktuasi harga minyak dan gas dunia, kemajuan teknologi penyimpanan
energi (baterai, hidrogen), serta tekanan dari masyarakat dan lembaga
internasional menuntut pemimpin yang adaptif. Pemimpin harus sigap menyesuaikan
strategi jika terjadi goncangan pasar atau kemajuan teknologi baru, sambil
tetap konsisten dengan sasaran transisi. Misalnya, ketika harga energi fosil
meroket atau terganggunya rantai pasokan, pemimpin perlu segera menilai
dampaknya pada keamanan energi dan keberlanjutan proyek. Walaupun belum banyak
rujukan spesifik, prinsipal adaptif ini tercermin dalam pernyataan Kementerian
ESDM bahwa inovasi teknologi dan dukungan seluruh pemangku kepentingan diperlukan
untuk membangun pembangkit EBT. Sehingga pemimpin dengan sifat adaptif juga
membuka pintu bagi peluang baru, seperti menyesuaikan insentif pajak untuk
investasi EBT atau mendukung riset baterai lokal.
Transisi
energi bukanlah tugas satu pihak saja melainkan kerja sama yang erat antara
pemerintah, sektor swasta, akademisi, media, dan masyarakat umum. Sekretaris
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Ida Nuryatin, menegaskan bahwa “agenda
transisi energi adalah pekerjaan besar yang tidak bisa diselesaikan oleh satu
pihak saja. Dibutuhkan sinergi yang kuat antara pemerintah, pelaku usaha,
akademisi, media, dan masyarakat”. Pemerintah pun mendorong peran aktif swasta
melalui penghargaan inovasi seperti Indonesia Best Electricity Award (IBEA),
yang menekankan inovasi dan investasi sektor swasta sebagai fondasi sistem
kelistrikan berkelanjutan. Di tingkat global, inisiatif seperti JETP
memperlihatkan kolaborasi internasional, di mana negara maju dan swasta menyediakan
pendanaan untuk proyek energi bersih di Indonesia. Kepemimpinan visioner harus
mampu membangun konsensus dan menciptakan forum multipihak. Misalnya, para
akademisi dan peneliti seperti dari IESR dan universitas bekerja sama dengan
Kementerian ESDM dalam memetakan Peta Jalan Transisi, disisi lain partisipasi
masyarakat juga diperlukan untuk menjaga agar kebijakan seimbang dengan
kebutuhan lokal. Dengan kolaborasi yang terkoordinasi, kebijakan transisi
energi bisa mendapatkan dukungan luas dan efektif di lapangan.
Terakhir, kepercayaan publik adalah fondasi
keberhasilan transformasi energi yang adil dan damai. Pemimpin transisi energi
harus jujur, transparan, dan bertanggung jawab agar masyarakat percaya dan
tidak menolaknya secara politik. Meski komitmen transisi energi sudah dimuat
dalam berbagai kebijakan, organisasi seperti PWYP (Publish What You Pay) mengkritisi
kurangnya keterbukaan dan partisipasi publik dalam implementasinya. Tanpa adanya transparansi, sulit mewujudkan kebijakan
“transisi yang berkeadilan”, karena masyarakat merasa turut memiliki dan
memahami kebijakan tersebut. Sebaliknya, pemimpin yang bersifat terbuka –
misalnya dengan mempublikasikan data emisi, memudahkan akses informasi subsidi,
atau melibatkan warga dalam konsultasi kebijakan akan membangun kredibilitas.
Keputusan Menteri ESDM yang konsisten dengan komitmen pemerintah (tidak
membangun PLTU baru di luar rencana, dan memulai pensiun PLTU) menumbuhkan
kepercayaan bahwa kebijakan dibuat demi kepentingan bersama, bukan tujuan
politis sempit. Kondisi semacam ini membuat kebijakan energi terbarukan lebih
mudah diterima oleh publik dan tidak mudah dipolitisasi.
Menteri
ESDM saat ini, Bahlil Lahadalia, menjadi figur kunci dalam narasi transisi
energi Indonesia. Sejak dilantik Agustus 2024, ia menunjukkan kepemimpinan yang
visioner dan aktif mengambil risiko. Hal ini terlihat dari ketika bersama
Presiden Prabowo, ia meluncurkan kerja sama energi terbarukan dengan Singapura
yang bertujuan membangun kawasan industri berkelanjutan dan jaringan listrik
lintas batas yang rendah karbon. Inisiatif ini mendemonstrasikan visi jangka
panjang dan kemampuan kolaborasi internasional. Selain itu, Bahlil juga mengeluarkan
kebijakan berani melalui Permen ESDM No.10/2025 tentang Peta Jalan Transisi
Energi Sektor Ketenagalistrikan. Peraturan tersebut mengatur percepatan pensiun
PLTU batubara dan penundaan PLTU baru, sehingga langkah-langkah ini mewakili
keberanian mengambil keputusan strategis. Keputusan pensiun dini PLTU Cirebon I
yang ditandatangani Bahlil adalah bukti konkret pengakhiran operasi fosil lebih
awal layak secara teknis dan ekonomis. Dalam setiap langkah, Bahlil terlihat
adaptif terhadap masukan ahli (mempertimbangkan andalan sistem dan biaya
listrik saat memensiunkan PLTU) selain itu, ia juga merangkul sektor swasta
(mendorong inovasi pembangkit EBT). Dengan membangun kepercayaan melalui
transparansi dan hasil konkret, kepemimpinan Bahlil menginternalisasi
sifat-sifat yang dibutuhkan yaitu visioner dalam target nasional, berani
menghadapi lobi bisnis fosil, kolaboratif dengan berbagai pihak, serta
integritas tinggi dalam kebijakan yang diambil.
Sumber:
Data dan pernyataan dalam esai ini merujuk pada analisis energi terkini dan
pernyataan resmi, seperti laporan IEA, IESR, dan Kementerian ESDM, serta
liputan berita terkait transisi energi.
Executive
summary – An Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia –
Analysis - IEA