Oleh: Rifky Alrivani
Dalam
evolusi teori kepemimpinan, terjadi pergeseran fundamental dari pendekatan yang
berfokus pada sifat dan perilaku universal, menuju paradigma kontingensi yang mengakui bahwa efektivitas kepemimpinan
bersifat kontekstual. Model Kepemimpinan Situasional, yang dipelopori oleh Paul
Hersey dan Ken Blanchard, menjadi salah satu kerangka kerja kontingensi yang
paling berpengaruh. Model ini secara eksplisit menolak postulat "satu gaya
terbaik untuk semua" dan menekankan bahwa pemimpin yang unggul adalah
mereka yang memiliki kapasitas
diagnostik dan fleksibilitas
perilaku untuk menyelaraskan intervensi mereka dengan variabel
situasional yang paling relevan, yaitu tingkat
kesiapan pengikut (follower
readiness).
Variabel Kritis
dan Gaya Kepemimpinan
Model Hersey-Blanchard beroperasi pada dua variabel perilaku pemimpin yang menjadi sumbu matriksnya, yakni Perilaku Tugas (Directive Behavior) dan Perilaku Hubungan (Supportive Behavior). Perilaku Tugas mengacu pada sejauh mana pemimpin menetapkan tujuan, mengorganisir, dan mengawasi tugas secara terperinci. Sementara itu, Perilaku Hubungan merefleksikan sejauh mana pemimpin terlibat dalam komunikasi dua arah, memberikan dukungan sosio-emosional, dan memfasilitasi keterlibatan. Kombinasi dari intensitas kedua perilaku ini menghasilkan empat kuadran gaya kepemimpinan utama:
- Mengarahkan (S1): Tinggi Tugas, Rendah Hubungan. Gaya ini menuntut pemimpin untuk memberikan instruksi yang preskriptif dan melakukan pengawasan ketat, ideal untuk inisiasi tugas baru.
- Melatih (S2): Tinggi Tugas, Tinggi Hubungan. Pemimpin tidak hanya memberikan arahan struktural, tetapi juga aktif menjelaskan keputusan dan memberikan dukungan motivasi, mendorong buy-in pengikut.
- Mendukung (S3): Rendah Tugas, Tinggi Hubungan. Pemimpin berbagi tanggung jawab pengambilan keputusan dan menggunakan perilaku suportif untuk membangun kepercayaan diri serta komitmen pengikut.
- Mendelegasikan (S4): Rendah Tugas, Rendah Hubungan. Pemimpin memberikan otonomi penuh, hanya terlibat dalam pemantauan strategis, dan cocok untuk kinerja yang sudah matang.
Tingkat Kesiapan
Pengikut sebagai Determinan
Kunci utama
model ini terletak pada diagnosis tingkat kesiapan pengikut, yang didefinisikan
oleh dua dimensi psikologis: Kompetensi
(kemampuan dan pengetahuan untuk menyelesaikan tugas) dan Komitmen (motivasi dan kepercayaan
diri/keinginan). Empat tingkat Kesiapan (D1-D4) yang diidentifikasi adalah:
- D1 (Kompetensi Rendah, Komitmen Tinggi): Enthusiastic Beginner: membutuhkan gaya S1
- D2 (Kompetensi Rendah/Sedang, Komitmen Rendah): Disillusioned Learner: membutuhkan gaya S2.
- D3 (Kompetensi Sedang/Tinggi, Komitmen Variabel): Capable but Cautious Performer: membutuhkan gaya S3
- D4 (Kompetensi Tinggi, Komitmen Tinggi): Self-Reliant Achiever: membutuhkan gaya S4.
Implikasi
Manajerial dan Kritik Teoritis
Model
Kepemimpinan Situasional memiliki implikasi signifikan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Ia memberikan kerangka kerja yang terstruktur bagi manajer untuk melakukan
intervensi pengembangan yang tepat. Tujuan utamanya adalah untuk memindahkan
pengikut secara bertahap dari Kesiapan D1 menuju D4 dengan terus mengurangi
Perilaku Tugas dan menyesuaikan Perilaku Hubungan.
Meskipun
model ini sangat intuitif dan mudah diterapkan secara praktis, kritik teoritis
sering diajukan. Salah satu keterbatasan utamanya adalah kecenderungan untuk
menyederhanakan kompleksitas dinamika kelompok. Model ini berfokus pada
hubungan dyadic (pemimpin-pengikut) dan kesiapan terhadap tugas spesifik, namun
kurang memperhatikan faktor kontingensi makro, seperti budaya organisasi,
tekanan waktu, atau pengaruh rekan kerja. Selain itu, akurasi pemimpin dalam
mendiagnosis kesiapan pengikut secara objektif seringkali menjadi prasyarat
yang menantang di lapangan.
Secara
konklusif, Model Kepemimpinan Situasional tetap menjadi instrumen esensial bagi
pemimpin kontemporer. Model ini menawarkan pemahaman yang mendalam bahwa
kepemimpinan yang efektif bukanlah tentang sifat bawaan, melainkan hasil dari intervensi yang disengaja dan
disesuaikan secara situasional. Keberhasilan dalam kepemimpinan, menurut Hersey
dan Blanchard, terletak pada kemampuan pemimpin untuk bertindak sebagai katalis
perkembangan individu, bukan sekadar pelaksana tugas.
Dalam
lanskap ekonomi global yang dicirikan oleh ketidakpastian (VUCA: Volatility, Uncertainty, Complexity,
Ambiguity), kemampuan adaptif kepemimpinan menjadi prasyarat esensial.
Teori Kepemimpinan Situasional
Hersey dan Blanchard, yang menekankan penyesuaian gaya kepemimpinan berdasarkan
tingkat kematangan (kompetensi dan komitmen) follower, menyediakan lensa
analitis yang kuat untuk memahami respons terhadap disrupsi. Analisis
komparatif atas peran sentral Gubernur Bank Sentral, Menteri Keuangan, dan CEO
korporasi menunjukkan divergensi dan konvergensi gaya kepemimpinan yang
strategis, disesuaikan dengan mandat institusional masing-masing.
Gubernur
Bank Sentral: Otoritas dan Kejelasan dalam Krisis
Gubernur
Bank Sentral, dengan mandat utamanya menjaga stabilitas moneter dan sistem
keuangan, beroperasi dalam ruang lingkup yang menuntut gaya Mengarahkan (S1:
Directing), terutama di masa krisis. Pada situasi financial distress
atau gejolak pasar yang ekstrem, kepemimpinan mereka harus bersifat preskriptif
dan tidak ambigu. Keputusan seperti penyesuaian suku bunga acuan, operasi pasar
terbuka, atau intervensi nilai tukar harus dikomunikasikan secara lugas untuk
menavigasi ekspektasi pasar dan memitigasi kepanikan. Dalam konteks ini,
pemimpin berperan sebagai otoritas tunggal yang menyediakan kepastian melalui
tindakan de-eskalasi yang cepat dan tegas. Komunikasi menjadi instrumen
kebijakan (sebagai forward guidance) yang menuntut akurasi dan
konsistensi, sehingga ruang untuk diskusi konsensual terbatas demi efisiensi
dan kredibilitas.
Tindakan
ini sangat penting karena krisis ekonomi sering kali dipicu oleh hilangnya
kepercayaan. Gaya S1 yang dominan memungkinkan pemimpin untuk memproyeksikan
kekuatan dan kontrol, yang secara psikologis dapat menenangkan investor dan
masyarakat. Contoh klasik adalah pernyataan "whatever it takes" dari
mantan Presiden Bank Sentral Eropa, Mario Draghi, yang menunjukkan komitmen
penuh untuk mempertahankan euro. Pernyataan tersebut adalah contoh sempurna
dari gaya Mengarahkan, di mana otoritas eksekutif tertinggi menyampaikan
instruksi tunggal yang jelas kepada pasar, tanpa perlu penjelasan mendalam
tentang setiap detail teknis.
Menteri
Keuangan: Diplomasi dan Mobilisasi Stakeholder
Berbeda
dengan otoritas moneter, Menteri Keuangan mengelola kebijakan fiskal yang
terikat pada konsensus politik dan dukungan publik. Peran ini menuntut
pergeseran gaya kepemimpinan yang dinamis, beralih antara Melatih (S2:
Coaching) dan Mendukung (S3: Supporting). Di tengah disrupsi,
Menteri Keuangan perlu meyakinkan berbagai stakeholder—termasuk
legislatif, kementerian lain, dan pelaku industri—tentang urgensi kebijakan
fiskal yang kontroversial, seperti stimulus ekonomi atau restrukturisasi utang.
Pendekatan S2 digunakan untuk menjelaskan rasionalitas kebijakan dan membangun
pemahaman, sementara pendekatan S3 berfokus pada kolaborasi dan pembentukan
koalisi. Kepemimpinan di sini bersifat multidimensional, tidak hanya
berorientasi pada hasil, tetapi juga pada pembangunan hubungan dan mobilisasi
dukungan dari beragam konstituen untuk mencapai tujuan makroekonomi.
Seorang
Menteri Keuangan tidak bisa bertindak sendiri. Mereka harus menjadi mediator
dan negosiator ulung, menjembatani kesenjangan antara kebutuhan ekonomi dan
realitas politik. Pendekatan S2 digunakan saat memaparkan Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) kepada parlemen, di mana mereka harus
menjelaskan secara rinci dampak dan tujuan dari setiap pos anggaran. Di sisi
lain, mereka menggunakan pendekatan S3 saat berkoordinasi dengan kementerian
lain untuk memastikan implementasi kebijakan yang sinergis. Fleksibilitas ini
memungkinkan mereka untuk mendapatkan "mandat sosial" yang diperlukan
untuk menjalankan kebijakan yang mungkin tidak populer tetapi esensial.
CEO
Korporasi: Adaptasi dan Pemberdayaan Organisasional
Di sektor
korporasi, disrupsi menuntut gaya kepemimpinan yang paling fleksibel. CEO yang
adaptif secara strategis bergeser ke Mendelegasikan (S4: Delegating) dan
Mendukung (S3). Dalam kondisi normal, mereka memberdayakan tim untuk
berinovasi dan mengambil inisiatif. Namun, ketika disrupsi mengancam model
bisnis inti (misalnya, kemunculan teknologi AI yang disruptif), pemimpin harus
kembali ke gaya Melatih atau bahkan Mengarahkan. Tujuannya adalah untuk
membimbing organisasi melalui kurva pembelajaran yang curam dan restrukturisasi
yang diperlukan. Kepemimpinan ini berfokus pada penciptaan budaya kelincahan (agility)
dan ketahanan (resilience), di mana pemimpin berperan sebagai
fasilitator yang menyediakan sumber daya, menghilangkan hambatan, dan
memastikan tim memiliki otonomi untuk beradaptasi dengan cepat.
Contoh yang
relevan adalah bagaimana CEO sebuah perusahaan teknologi mendorong timnya untuk
mengembangkan produk baru (S4), namun ketika ancaman dari startup baru muncul,
mereka mungkin beralih ke S2 untuk melatih tim tentang arah strategis baru dan
pentingnya berinovasi dengan cepat. Ini mencerminkan pemahaman bahwa dalam
lingkungan yang volatil, kapabilitas tim untuk belajar dan beradaptasi adalah
aset terpenting.
Kesimpulan
Secara
konklusif, Model Kepemimpinan
Situasional Hersey-Blanchard adalah kerangka kerja kontingensi yang
esensial, yang telah memetakan kembali definisi kepemimpinan yang efektif dari
atribut statis menjadi keterampilan diagnostik
dan adaptif. Model ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah fungsi dari
penyesuaian yang disengaja antara gaya pemimpin dan tingkat kematangan
(kompetensi dan komitmen) pengikut terhadap tugas spesifik.
Meskipun
menghadapi kritik mengenai penyederhanaan variabel makro dan kompleksitas
hubungan dyadic, relevansi kontemporer model ini tetap kuat. Dalam
konteks organisasi yang semakin datar, agile, dan didominasi oleh
generasi yang menuntut otonomi, kemampuan seorang pemimpin untuk beralih secara
lancar antara coaching (S2), supporting (S3), dan delegating
(S4) adalah keharusan strategis. Keberhasilan dalam kepemimpinan abad ke-21
tidak lagi diukur dari kekuatan direktif, melainkan dari kemampuan untuk menginkubasi kemandirian dan mengoptimalkan potensi individu di
setiap tahap perkembangannya. Oleh karena itu, Kepemimpinan Situasional bukan
hanya sebuah teori, tetapi sebuah praktik fundamental untuk pengembangan bakat
dan pencapaian efektivitas organisasi yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, analisis ini menegaskan validitas teori Kepemimpinan Situasional dalam konteks ekonomi global kontemporer. Masing-masing peran Gubernur Bank Sentral, Menteri Keuangan, dan CEO menunjukkan bahwa tidak ada superioritas absolut dari satu gaya kepemimpinan. Efektivitas kepemimpinan bukan terletak pada karakter pemimpin, melainkan pada kemampuan mereka untuk secara strategis menyesuaikan pendekatan mereka dengan kompleksitas dan urgensi situasi. Fleksibilitas ini, yang diwujudkan melalui transisi antar gaya kepemimpinan, adalah kompetensi inti yang memungkinkan para pemimpin ini untuk menavigasi badai ekonomi dan mengarahkan institusi mereka menuju stabilitas dan pertumbuhan berkelanjutan.